moga_bunda_cover_film

Judul                     : Moga Bunda Disayang Allah

Penulis                 : Tere Liye

Penerbit              : Republika Penerbit

Tahun Terbit      : Cetakan ke-I, November2006

Tebal                     : 306 halaman

Harga                    : Rp. 50.000,-

Nomor ISBN       : 979-3210-79-6

“Setiap kali kau protes, maka seseorang akan mengingatkan bahwa Tuhan Maha Adil. Yaa, Tuhan Maha Adil. Sebab kita terlalu bebal maka kitalah yang tidak tahu dimana letak keadilan-Nya, tidak tahu apa maksudnya. Kalau kita tidak pernah mengerti, itu jelas karena itu terlalu tolol, bukan berarti Tuhan tidak adil. Tuhan selalu benar.” (hlm. 145)

∞∞∞

                Pertama Kali baca tajuk novel Tere Liye Moga Bunda Disayang Allah ini yang tersusun berderet rapi di rak agak canggung. Genrenya, isi kandungannya dll. Namun, hatiku berhasil ditarik setelah membaca cuilan sinopsissnya.

Novel ini bercerita ketika Bunda bermimpi tentang Melati. Mimpi yang melegakan, mengharukan sekaligus menyesakkan. Sebuah mimpi paradoks. Bunda Mengusap matanya. Melipat dahi. Seperti baru menyadari sesuatu. Hei! Apa ia tidak salah lihat? Apa pemandangan ini sungguh nyata? Melati sekarang merangkak di depannya. Nyengir lebar memamerkan gigi kelincinya. Bukankah pemandagan ini ganjil sekali? (hlm. 6)

Me-la-ti. Merupakan malaikat kecil Bunda yang sangat berharga –karena sudah lama ditunggu keberadaanya—dibandingkan dengan harta, benda serta apapun itu. Ya, mereka memang keluarga HK yang kaya raya, masyhur dan dihormati di seluruh pelosok kota. ‘Tak seorang pun yang ‘tak mengenali. Keluarga kecil yang terdiri dari ayah, bunda dan ia, Melati. Mereka hidup di rumah megah di atas bukit bersama sembilan pembantu yang membuatnya bertambah ramai.

Ia merupakan gadis kecil dengan rambut ikal berombak. Pipi tembem macam donat. (hlm. 4) kontras. Kejadian tiga tahun lalu merubah Melati 180 derajat berubah. “Gelap! Melati hanya melihat gelap.Hitam. Kosong. Tak ada warna….Senyap! Melati hanya mendengar senyap.Sepi. Sendiri. Tak ada nada…”

Berjuta do’a telah mengambang. Berjuta usaha telah dilakukan. Namun, nisbi. Tetap tak ada senoktah pun cahaya. Sampai akhirnya bertemu dengan Karang, seorang pemuda yang menjalani hidup ala Batman. Mabuk-mabukan. Dan kalimat sarkasme yang selalu terlontarkan. Ah, jangan ngomongin penampilannya. Cambang buruk, rambut panjang awut-awutan, dan pakaian kumal. Lengkap membuatnya bak seorang preman. Seram!

Karang berhasil melepaskan melati dari “kungkungan”. Melepaskan jeratan tali yang mengikat Melati dengan kehidupan. ‘Tak ada lagi senyap dan gelap–Mengenal Tuhan, ayah, bunda, karang, Salamah, ayam Mang Jeje–bagi Melati. Bahkan sekarang Melati bisa “bercuap-cuap”. Saat itulah, keajabain Tuhan kembali mampir di rumah lereng bukit itu. Saat itulah, keajaiban Tuhan berkenan datang untuk ke sekian kalinya. Kali ini tidak hanya selintas. Tidak hanya sekejap. Ya Tuhan, kali ini Engkau sungguh menumpahkan berlaksa kasih sayang-Mu di muka bumi. Jika kami bisa melihat kasih sayang itu bak pendar cahya, maka Kau sungguh membuat kemilau indah tiada tara di langit-langit taman rumput itu sekarang. Seperti tarian sejuta aurora! Sejuta aurora di gulitanya malam. Indah memsona tak-takterkatakan!. (him. 271-272)

∞∞∞

                Dengan gaya bahasa yang unik, novel ini membuat kita akan selalu terus untuk melahap setip bab. Renyah. Menarik dan sarat makna. Mengajarkan kita agar selalu berdo’a, berusaha, dan berdendam positif dengan Yang Kuasa.

Penulis terinspirasi menulis karya ini melalui kisah perjuangan Helen Adams Keller (Tuscumbia, Alabama, Amerika 27 Juni 1880–1 Juni 1968, Easton, Connecticut, Amerika). Gadis kecil yang buta, tuli, juga bisu. Ia adalah seorang penulis, pembicara, dan aktivis kemanusiaan yang menjadi “mentari” kedua bagi dunia. Penulis paparkan di sebuah catatn, akhir dari halaman novel ini.